Bab
I Pendahuluan
Pada bab
pendahuluan bersisi mengenai deskripsi pengertian-pengertian serta
batasan-batasan yang diperlukan sebagai standart penulisan karya ilmiah. Antara
lain:
1.
Mengenali Etika Jawa, Untuk apa?
Alasan
Magnis dalam meneliti etika Jawa, pertama: budaya masyarakat Jawa
mengalami keterasingan. Kedua: mencari sudut pandang lain pasalnya
etika secara eksklusif hanya berkembang di barat.
2. Dua
Pembatasan
Pertama:
penelitian ini bukanlah penelitian Antropologis meski datanya diperoleh dari data-data
antropologis dan sosiologis. Kedua: cakupan kajiannya hanya seputar “orang
Jawa”, “masyarakat Jawa” dan “etika Jawa”.
3. Apa
itu “Orang Jawa”
Orang Jawa,
masyarakat Jawa?
4. Apa
itu “Etika”
Pengertian
etika Jawa dalam buku itu ialah
keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalani
hidupnya.
5.
Susunan Buku ini
Berisi
mengenai teknis penulisan buku.
Bab
II Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa
Secara garis
besar bagian ini berisi pembahasan mengenai lingkungan, masyarakat dan sejarah
Jawa.
1.
Pulau Jawa
Berisi
data-data geografis mengenai Pulau Jawa
2.
Masyarakat Jawa
Masyarakat
Jawa ialah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan secara
geografis mereka dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Magnis, secara
sosial masyarakat Jawa dibedakan menjadi tiga, yaitu: wong cilik (orang
kecil) yang terdiri dari kaum petani dan mereka yang berpendapatan rendah,
priyayi yakni para pegawai pemerintahan dann kaum intelektual, dan ketiga ndara
atau kaum ningrat dalam arti keluarga kerajaan.
3.
Ringkasan Sejarah Jawa
a.
Prasejarah
Berisi
gambaran sosial-keagamaan masyarakat Jawa di masa lampau.
b.
Kerajaan-kerajaan Jawa Tengah Pertama
Magnis hanya
menjelaskan bahwa peninggalan-peninggalan berupa candi, arca serta prasasti dan
lain-lain disinyalir sebagai bukti adanya kerajaan-kerajaan yang pernah
berkuasa di Jawa Tengah.
c.
Kerajaan-kerajaan Jawa Timur Pertama
Di sini
dijelaskan mengenai keberadaan berbagai kerajaan yang pernah berkuasa di Jawa
Timur, mulai dari Kerajaan Airlangga sampai dengan kerajaan di Kediri pada tahun 1222.
c.1.
Kerajaan Majapahit
Rupanya
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang paling berpengaruh dalam sejarah
Jawa, secara panjang lebar Magnis membahasnya dalam subbab ini.
c.2.
Kedatangan Agama Islam dan Perkembangan Selanjutnya
Dalam subbab
ini Magnis menjalaskan mengenai nasib masyarakat Jawa setelah kedatangan
berbagai orang dari luar seperti pedangan Gujarat
dan juga Eropa. Pedagang dari Gujarat membawa kebudayaan Islam sementara orang
Eropa membawa kebudayaan modern, hal tersebut membawa pengaruh yang sangat
besar bagi kondisi sosial-keagamaan masyarakat Jawa, terlebih setelah Belanda
datang dan menjajah.
Bab
III Dua kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Bertolak
dari pemahaman Hildred Geertz, penjelasan Magnis berfokus pada kaidah-kaidah
moral yang berlaku dalam masyarakat Jawa.
1.
Prinsip Kerukunan
a.
Rukun
Rukun
berarti keadaan harmonis. Namun demikian, menurut Magnis, rukun lebih diartikan
sebagai cara bertindak, yakni tindakan untuk tidak mengganggu keselarasan hidup
yang sudah ada, menghindari terjadinya konflik masyarakat.
b.
Berlaku Rukun
c.
Rukun dan Sikap Hati
2.
Prinsip Hormat
3.
Etika Keselarasan Sosial
Bab
IV Pandangan Dunia Jawa
Menurut
Magnis “pandangan dunia” yakni semua keyakinan deskriptif yang dipahami oleh
manusia untuk menjelaskan realitas berdasarkan pengalamannya. Masih menurut
Magnis, yang menarik dari pandangan dunia masyarakat Jawa ialah mereka tidak
melihat relitas secara terpisah melainkan satu kesatuan utuh dan bertolok ukur
pada kondisi psikis tertentu, yakni; ketenangan, ketentraman dan keseimbangan
batin.
1.
Alam Numinus dan Dunia
a.
Kesatuan Numinus antara Masyarakat, Alam dan Alam Adikodrati
Magnis menjelaskan
bahwa ruang lingkup kehidupan orang Jawa ialah masyarakat dan alam. Alam pun
tidak hanya sebatas alam empiris melainkan juga alam metempiris (gaib). Dan
uniknya, alam empiris merupakan perwujudan dari alam metempiris. Dengan kata
lain, alam empiris merupakan menifestasi adanya kekuatan gaib.
Orang Jawa
pun, masih menurut Magnis, meyakini bahwa keselamatan hidupnya bergantung pada
kekuatan gaib tersebut. Dan karena itulah mereka kemudian menyikapinya dengan
mengadakan berbagai ritual, antara lain: acara slametan, ziarah makam,
doa-doa, sesaji dan sebagainya.
b.
Koordinasi
Kesatuan
antara manusia dan alam, baik alam empiris maupun alam metempiris bagi orang
Jawa, menurut tinjauan Magnis, telah melahirkan sebauh koordinat (perhitungan)
tertentu. Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dijumpai dalam buku risalah
yang disebut Primbon. Primbon memuat berbagai macam
perhitungan atau rumusan sakral yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat
Jawa.
c. Tempat
yang Tepat sebagai Paham Kunci
Dalam hal
ini nampaknya Magnis pun mengalami kesulitan untuk menjelaskan “tempat yang
tepat” dalam pandangan etika Jawa. Ia sendiri mengakui bahwa tidak ada bidang
eksistensi manusia yang semata-mata ditentukan oleh hukum objektif. Melainkan
orang Jawa, menurut Magnis, tidak sepenuhnya menyadari eksistensi dirinya
kecuali hanya sebatas memahami bahwa setiap perbuatan pada akhirnya akan
dikembalikan kepada kekuatan gaib yang “serba angker” (kosmos).
2. Yang
Numinus dan Kekuasan
Salah satu
sisi dari pandangan dunia orang Jawa, yakni menganggap bahwa individu-individu
yang berkuasa memiliki pertalian khusus dengan yang maha gaib.
a.
Hakikat Kekuasaan
Menurut
pengakuan Magnis, kekuasaan bagi orang Jawa bukan semata-mata gejala sosial
melainkan lebih merupakan menifestasi energi kosmos yang menyeluruh.
b.
Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis
Raja, masih
menurut penuturan Magnis, merupakan sosok tertentu yang memiliki kemampuan
untuk menyerap seluruh energi kosmos. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa
memposisikan raja pada tingkatan sakral. Di samping itu, raja juga dijadikan
sebagai simbol kesejahteraan hidup.
c.
Kraton sebagai Pusat Kerajaan Nominus
Selain raja,
kraton sebagai tempat kediaman seorang raja pun memiliki posisi yang istimewa
bagi masyarakat Jawa. Magnis menganalogikan bahwa kraton bagaikan sumber cahaya
yang dapat menerangi daerah sekelilingnya, dalam hal ini ialah seluruh wilayah
kerajaan.
d. Kekuasaan
dan Moral
Dalam paham
kekuasaan masyarakat Jawa tertanam bahwa raja merupakan sosok manusia linuwih,
adil, bijak dan dicintai rakyat karena mampu melindungi mereka dari marabahaya.
3.
Dasar Nominus Keakuan
Keistimewaan
seorang raja, berdasar rumusan Magnis bahwa ia merupakan wadah kekuatan ilahi,
yang sebetulnya, hal tersebut bisa berlaku bagi setiap orang.
a.
Kisah Dewaruci
Inti dari
kisah Dewaruci yang dapat ditangkap dari penuturan Magnis, bahwa Dewaruci
merupakan inti dari kebatinan orang Jawa. Dengan melaui laku tertentu setiap
orang Jawa dapat berjumpa dengan dewarucinya masing-masing, dengan kata lain “manunggaling
kawulo gusti” (bersatunya antara jasad dan batin). Ajaran moral
yang dapat dipetik dari kisah tersebut, bahwa inti dari hidup orang Jawa tidak
terletak pada manunggaling kawulo gusti melainkan pengabdian sosial
yang harus ditunaikan setelah seseorang berhasil mencapai derajat tertinggi
dari kehidupan.
b.
Pengertian tentang Sangkan-paran
Sangkan-paran
dalam arti harfiah ialah asal dan tujuan hidup manusia. Pada intinya, pemaparan
mengenai sangkan-paran ini Magnis hanya menjabarkan intisari dari kisah Dewaruci
di atas.
c.
Sangkan-paran sebagai Praksis Kehidupan
Praksis
sangkan-paran, menurut Magnis, untuk menjelaskan bagaimana manusia berhadapan
dengan hakikatnya yang sebenarnya, yakni memaknai hidup. Kemudian secara
panjang lebar Magnis memaparkan tentang kaidah ideal kehidupan masyarakat Jawa.
d.
Takdir
Takdir,
berdasarkan penjelasan Magnis, merupakan garis-garis hidup dalam tatanan
kosmos. Masyarakat Jawa sangat meyakini bahwa manusia tidak bisa melepaskan
dirinya dari takdir yang membelenggu, hidup semata-mata hanya mengikuti suratan
takdir. Melawan nasib tidak ada gunanya, kecuali hanya akan mengacaukan tatanan
kosmos.
Bab
V Koordinat-Koordinat Umum Etika Jawa
Masih
menurut penjelasan Magnis bahwa koordinat-koordinat umum etika Jawa
dilambangkan dalam ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe dan memayu
hayuning bawana.
1.
Sikap Batin yang Tepat
Dalam
masyarakat Jawa terdapat sebuah ajaran moral yang oleh Magnis disebut sebagai
“sikap batin yang tepat” yakni sebuah pendirian batin untuk selalu mengendalikan
hawa nafsu dan egoisme (pamrih: mendahulukan kepentingan pribadi di
atas kepentingan umum). Dalam kepustakaan Jawa untuk menggambarkan tindakan
hawa nafsu tersebut dikenal istilah malima yakni madat, minum,
maling, madon dan main. Oleh karena itu, untuk menghindari dua
hal yang sangat berbahaya tersebut masyarakat sering melakukan laku tapa,
yakni suatu upaya untuk mengendalikan diri.
2.
Tindakan yang Tepat dalam Dunia
Dari konseps
mengenai “sikap batin yang tepat” muncullah sebuah pandangan dalam masyarakat
Jawa bahwa manusia jangan mengikat diri pada dunia akan tetapi membebaskan diri
dari dunia, namun demikian bukan berarti menarik diri dari dunia. Dari satu
pemahaman tersebut kemudian sampailah pada suatu ungkapan “rame ing gawe,
sepi ing pamrih dan memayu hayuning bawana”. Yang dimaksud rame
ing gawe yakni kewajiban untuk bekerja keras, sementara sepi ing
pamrih berarti jauh dari sifat-sifat egois. Bila kedua ungkapan tersebut
digabung melahirkan sebuah pengertian bahwa orang Jawa hendaknya selalu bekerja
keras namun juga harus mengindari pamrih (imbalan). Kemudian memayu
hayuning bawana ialah memperindah kehidupan dunia dalam keselarasan
kosmos.
3.
Tempat yang Tepat
Pengertian
tentang “tempat yang tepat” merupakan satu kesimpulan bahwa ada beberapa
pertimbangan yang harus diindahkan oleh manusia, sebagai konsekuensi dari
pemahaman-pemahaman di atas. Pertimbangan tersebut terkait dengan
adat-istiadat, norma sosial, tata krama (unggah-ungguh) dan tradisi.
4.
Pengertian yang Tepat
Pandangan
Jawa mengenai sikap batin dan tidakan yang tepat didasari atas pemahaman
tentang tempat yang tepat. Barang siapa yang memahami tempatnya dalam
masyarakat, ia juga memiliki sikap batin yang tepat dan sengan demikian akan
bertindak tepat. Dan sebaliknya, siapa yang membiarkan dirinya dikuasai oleh
nafsu-nafsu dan pamrihnya menunjukkan bahwa ia belum mengerti tempatnya dalam
kosmos. Artinya ia belum memiliki pengertian yang tepat. Pengertian yang tepat
bagi orang Jawa dikenal dengan istilah “rasa”, harus dirasakan. Konon
dalam rasa realitas yang sebenarnya (kosmos) membuka diri.
5.
Etika Wayang
Berdasarkan
pemaparan Magnis, wayang merupakan sebuah pagelaran yang sarat dengan ajaran
moral. Ajaran moral yang disampaikan bukan hanya mengenai keseimbangan antara
baik dan jahat melainkan juga tentang pluralitas di dalamnya. Setiap penokohan
dalam wayang sudah memiliki pakem-nya masing-masing, entah itu sebagai
Pandawa maupun Kurawa. Dengan kata lain, Magnis menjelaskan
bahwa masyarakat Jawa selalu membuka diri bukan hanya terhadap hal-hal yang
baik melainkan hal-hal jahat pun memperoleh tempatnya, kedua-duanya dibutuhkan,
setidaknya untuk menjaga stabilitas kosmos.
Bab
VI Beberapa Masalah Khusus
Beberapa
masalah khusus dalam etika Jawa yang perlu diperhatikan yakni:
1.
Keluarga, Keakraban dan Hormat
Pemahaman
tentang rame ing gawe dan sepi ing pamrih, bagi orang Jawa
sendiri ternyata dipahami sebagai tuntutan hidup yang membelenggu. Oleh karena
itu diperlukan adanya suatu ruang yang bebas dari tuntutan hidup tersebut,
itulah keluarga. Magnis menambahkan bahwa keluarga merupakan satu-satunya
tempat di mana orang Jawa menjadi dirinya sendiri, aman dan bebas dari segala
tuntutan lahiriah dan batiniah.
2.
Tentang Etika Seksual Jawa
Ada tiga hal yang menarik bagi Magnis dalam etika
seksual Jawa ini, pertama; hubungan seksual tidak dipandang sebagai
sesuatu yang problemtis secara moral. Pertimbangan mengenai hubungan seksual di
luar perkawinan bukan karena hubungan seksualnya yang buruk melainkan karena
akibat-akibat yang tidak diinginkan. Kedua; masyarakat Jawa tidak
memiliki harapan yang berlebihan di bidang seksual. Penyelewengan terkait
dengan hubungan seksual tidak diartikan sebagai suatu tindakan jahat melainkan
sesuatu yang harus diperbaiki, dengan kata lain, pengawasan masyarakat harus
diperketat. Ketiga; mengenai hal ini masyarakat Jawa tidak berambisi
untuk menegakkan prinsip moral mutlak melainkan agar ketenangan dan keselarasan
masyarakat tetap terjaga.
3.
Ilmu Hitam
Bagi
masyarakat Jawa keberadaan ilmu hitam sudah menjadi sesuatu yang lumrah.
Aktivitas laku tapa atau semedi merupakan suatu laku batin
untuk dapat menyerap kekuatan-kekuatan kosmis (kekuatan gaib), sementara
kekuatan gaib tersebut dapat dipergunakan untuk tujuan baik maupun tujuan
jahat. Namun demikian, penggunaan kekuatan kosmis tersebut hendaklah tetap
harus memperhatikan sikap batin, tindakan serta pengertian yang tepat
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
4.
Semar
Semar
merupakan salah satu penokohan dalam pagelaran wayang, namun demikian
keberadaan semar ini memiliki filosofi hidup tersendiri, keberadaan tokoh Semar
memiliki koordinat terpenting dalam etika Jawa. Semar merupakan figur rakyat
jelata, sebagai abdi dalem ia bebas dari pamrih dan hidupnya semata-mata hanya
untuk menjalankan darmanya sebagai abdi dalem. Namun dibalik sosoknya yang
sederhana, ia memiliki kesempurnaan etis orang Jawa. Ia hadir sebagai pelengkap
dan sekaligus sosok inti kebatinan masyarakat Jawa.
Bab
VII Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup
Sejauh mana
etika Jawa bisa dipandang sebagai etika dalam pengertian yang sebenarnya
(barat)? Dalam bab ini kita bisa menyaksikan kepiawaian Magnis dalam memainkan
kata, tentu berdasar analisis kritisnya.
1.
Etika dan Aksi
Orang Jawa
mengembangkan pengertian etisnya dengan rasa. Dengan kata lain, rasa
merupakan epistem etika Jawa. Etika Jawa merupakan etika pengertian. Sekali
lagi Magnis menyampaikan bahwa etika Jawa bukanlah etika aksi yang bertujuan
terhadap perubahan-perubahan tertentu melainkan suatu proses pematangan. Etika
Jawa ini tidak bisa disandarkan dengan etika Aristotelian, etika Jawa juga
bukan etika passivitas.
2.
Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral
Keselarasan
dalam etika Jawa memiliki kedudukan istimewa, keselarasan tersebut ialah
membatasi diri dan ketersediaan memenuhi kewajiban (rame ing gawe, sepi ing
pamrih). Sebuah keutamaan yang bersifat formal dan negatif. Dengan kata
lain, etika Jawa tidak menekankan apa yang dituntut melainkan apa yang harus
dicegah.
3.
Relativasi Baik dan Buruk
Salah satu
ciri etika yang menekankan fungsi kehendak, kata Magnis, ialah membedakan
secara tajam antara yang baik dan yang jahat. Sementara itu berbeda dengan
etika Jawa yang justeru malah memperlukan entitas keduanya. Dalam hal ini ada
dua hal yang menarik perhatian Magnis, yakni pertama; tindakan salah
dalam etika Jawa tidak diartikan sebagai kehendak buruk melainkan karena
kurangnya pengertian (durung ngerti). Kedua; etika Jawa
memberi pamahaman bahwa yang jahat bukanlah sesuatu yang tidak boleh ada. Hal
ini dipertegas dengan sebuah pemahaman bahwa tindakan yang tepat selalu relatif
terhadap tempat dan keadaan.
4.
Moral dan Estetika
Tolok ukur
yang dipakai orang Jawa untuk memahami perilaku etisnya dengan kategori
halus-kasar. Hal tersebut sangat beralasan bahwa kehalusan merupakan hakikat
dari realitas kosmis yang berada di balik alam lahiriah.
5.
Etika Kebijaksanaan
Tuntutan
dasar etika Jawa terletak pada penyesuaian diri terhadap lingkungan serta
memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku. Kategorisasi dalam etika Jawa
bukanlah antara yang baik dan jahat melainkan antara yang bijaksana dan yang
bodoh. Siapa yang tidak memenuhi tuntutan etika Jawa dianggap sebagai yang
bodoh, bukan jahat.
Bab
VIII Etika Jawa dan Relativisme
Di sini,
secara argumentatif Magnis berusaha mencari benang merah antara etika Jawa dan
etika barat. Sampai kemudian ia menyimpulkan bahwa etika Jawa merupakan etika
kebijaksanaan sementara etika barat merupakan etika kewajiban. Hal tersebut
ditujang oleh beberapa pengertia.
1.
Perbedaan antara Etika Jawa dan Etika Barat
Perbedaan
antara keduanya terletak pada pertama; prinsip-prinsip keselarasan. Kedua;
etika kebijaksanaan mengenal kewajiban melainkan tidak dalam pengertian
kategoris. Ketiga; penekanan dalam etika kebijaksanaan ialah tindakan
yang bijaksana bukan tekanan batin.
2.
Relativisme Etis?
Akhirnya
Magnis menyimpulkan bahwa etika Jawa dan etika barat harus dipahami dalam
wilayahnya masing-masing karena keduanya berangkat dari pemahaman yang berbeda
mengenai kosmis.
3.
Tahap-tahap Perkembangan Kesadaran Masyarakat Moral Masyarakat?
Di sini,
Magnis berusaha untuk menjelaskan etika Jawa ditinjau dari kategrisasi Lowrence
Kohlberg. Tapi kemudian ia juga mengkritisi sejauh mana pendapat Kohlberg
memeiliki relevansi terhadap etika Jawa.
4.
Sebagai Penutup
TINJAUAN
1.
Apresiasi
Franz
Magnis-Suseno merupakan seorang peneliti yang sangat serius dengan
pekerjaannya, hal tersebut nampak sekali dalam karya tulis tersebut. Saya
sendiri sendiri sulit membayangkan seberapa besar semangatnya untuk mendaptkan
data-data langka tersebut, apalagi bila mengingat bahwa teks-teks aslinya
tertulis dalam bahasa Jawa klasik sementara ia sendiri bukan orang Jawa, bahkan
bukan orang yang akrab dengan budaya Jawa. Meskipun data-data yang ia pilih
merupakan data-data dari para antropolog namun ia mampu menguraikannya secara
filosofis, tentu karena ia memiliki latar belakang filsafat yang sangat kuat.
Sebagai
orang Jawa, saya pribadi merasa sangat terbantu oleh penuturan Magnis dalam
buku tersebut dan tentunya ada banyak hal yang baru saya ketahui setelah
membaca karya tulis tersebut. Dan bahkan sebagai orang luar, pemahamannya
mengenai etika Jawa telah melebihi orang asli Jawa yang tidak memiliki
kesempatan untuk mempelajari hal yang sama.
Sebagai
peneliti, usahanya untuk menjaga objektifitas patut diacungi jempol terlebih
ketika ia berusaha menyandingkan antara etika Jawa dan etika Barat. Sebagai
bentuk kehati-hatiannya, ia tidak serta-merta menghakimi bahwa etika Jawa
begini sementara etika barat begitu. Melainkan ia berusaha untuk mencari titik
temu di mana letak persamaan dan perbedaan keduanya.
2.
Tanggapan Kritis
Namun
demikaian, menurut hemat kami, Magnis belum sepenuhnya menjelaskan apa dan
bagaimana etika Jawa. Hal ini terlihat ketika ia mencoba memberi batasan
mengenai apa yang dimaksud dengan Jawa. Dalam penelitian ini, ia belum
menjelaskan etik Jawa yang mana padahal etika Jawa memiliki banyak versinya.
Bila kita berpegang bahwa bahasa menunjukkan budaya, kita bisa melihat ada
berapa versi bahasa yang berlaku di Jawa dan setiap bahasa tentu memiliki
pengertian yang berbeda mengenai budaya maupun etikanya.
Dalam
penulisannya, tampaknya Magnis juga mengalami sedikit kekacauan. Misalnya
ketika membahas tentang Wayang dan Semar misalnya, dua hal tersebut merupakan
sesuatu yang tak bisa dipisahkan akan tetapi ia membahasnya dalam bab yang
berbeda yang akhirnya adanya hubungan di antara keduanya menjadi tidak
nyambung.
Nampak
sekali Magnis pun begitu berpedoman pada hasil penelitian Clifford Geertz,
terutana dalam penjelasannya mengenai struktur sosial masyarakat Jawa. Padahal
sebagaimana kita maklumi tesis Geertz tersebut masih menjadi polemik yang tak
berkesudahan.
Dalam aspek
kesejarahan, penjelasan Magnis tidak begitu memukau. Ia juga tidak menjelaskan
secara lebih jauh mengnai asal-muasal (sejarah) mengenai ritual tertentu yang
berlaku bagi masyarakat Jawa. Ia hanya berusaha menarik sisi filosofis dari
data-data yang ia jumpai dalam penelitiannya.
Tentu secara
teknis, ada beberapa istilah yang pemahamannya kurang sesuai atau kurang lengkap,
atau bahkan terkesan dicampur-adukkan.
Kalau
diibaratkan dengan orang melihat rumah, Magnis baru sampai di pelataran rumah
dan belum sempat melihat ke dalam. Hal ini nampak dalam pemaparannya yang
terkesan deskriptif dan tidak menyentuh dengan apa yang disebut rasa.
Kekeliruan fatal ialah ketika laku tapa yang sangat terkait dengan rasa
hanya dijelaskan deskriptif-filosofis padahal kita tahu bahwa alam kebatinan
Jawa bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ada satu ungkapan bahwa
kita baru bisa tahu apa itu laku, tentu bila kita nglakoni.
3.
Kesimpulan
Secara umum
hasil karya tersebut patut dipertimbangkan, tentu karena ia memiliki banyak
data-data yang tidak dimiliki oleh peneliti lain. Meski kemudian, ada beberapa
hal yang masih perlu dikritisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar